Kamis, 29 Oktober 2015

NABI SYUA'IB

PENDAHULUAN


PEMBAHASAN

SILSILAH NABI SYU'AIB
Nabi Syu'aib hidup  sekitar 1600 SM - 1500 SM) dia  adalah seorang nabi yang diutus kepada kaumMadyan dan Aikah menurut tradisi Islam. Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1550 SM. Namanya disebutkan sebanyak 11 kali di dalamAl-Qur'an dan ia wafat di Madyan.
Umat muslim meyakini bahwa Syu'aib ditetapkan oleh Allah untuk menjadi seorang nabi yang tinggal di timur Gunung Sinai kepada kaum Madyan dan Aykah. Yaitu kaum yang tinggal di pesisir Laut Merah di tenggara Gunung Sinai. Masyarakat tersebut disebut karena terkenal perbuatan buruknya yang tidak jujur dalam timbangan dan ukuran juga dikenal sebagai kaum kafir yang tidak mengenal Tuhan. Mereka menyembah berhala bernama al-Aykah, yaitu sebidang tanah gurun yang ditumbuhi pepohonan atau pepohonan yang lebat.
Syu'aib memperingatkan perbuatan mereka yang jauh dari ajaran agama, namun kaumnya tidak menghiraukannya. Syu'aib menceritakan pada kaumnya kisah-kisah utusan-utusan Allah terdahulu yaitu kaum Nuh, Hud, Shaleh, dan Luth yang paling dekat dengan Madyan yang telah dibinasakan Allah karena enggan mengikuti ajaran nabi. Namun, mereka tetap enggan, akhirnya Allah menghancurkan kaum Madyan dengan bencana melalui doa Syu'aib.

DAKWAH NABI SYU'AIB

Ketika berdakwah bagi kaum Madyan, Nabi Syu'aib menerima ejekan masyarakat yang tidak mau menerima ajarannya karena mereka enggan meninggalkan sesembahan yang diwariskan dari nenek moyang kepada mereka. Namun, Syu'aib tetap sabar dan lapang dada menerima cobaan tersebut. Ia tidak pernah membalas ejekan mereka dan tetap berdakwah. Bahkan, dakwahnya semakin menggugah hati dan akal. Dalam berdakwah kadang ia memberitahukan bahwa dia sebenarnya sedarah dengan mereka. Hal ini memiliki tujuan agar kaumnya mau menuju jalan kebenaran. Karena itulah ia diangkat menjadi rasul Allah yang diutus bagi kaumnya sendiri. Nabi Syu'aib yang saat itu memiliki beberapa pengikut, mulai mendapat ejekan kasar dari kaum lain. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai penyihir dan pesulap ulung.


KORUPSI DAN KEHANCURAN UMMAT NABI SYUAIB
Kemungkaran, kemaksiatan dan tipu menipu dalam pengaulan merupakan perbuatan dan perilaku yang lumrah dan rutin. Kecurangan dan perkhianatan dalam hubungan dagang seperti pemalsuan barang, kecurian dalam takaran dan timbangan menjadi ciri yang sudah sebati dengan diri mereka.
Para pedagang dan petani kecil selalu menjadi korban permainan para pedagang-pedagang besar dan para pemilik modal, sehingga dengan demikian yang kaya makin bertambah kekayaannya, sedangkan yang lemah semakin merosot modalnya dan semakin melarat hidupnya.
Korupsi melalui pengurangan timbangan sudah menjadi kebiasaan pedagang kaum Madyan. Nabi Syuaib a.s. diutus Allah Swt kepada mereka agar meninggalkan perbuatan-perbuatan dan kelakukan-kelakuan yang dilarang oleh Allah serta membawa kerugian bagi sesama manusia serta mengakibat kerusakan dan kebinasaan masyarakat. Mereka diajak agar berlaku adil dan jujur terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain, meninggalkan korupsi, kolusi dan khianat dan kezaliman serta perbuatan curang dalam hubungan dagang, perampasan hak milik seseorang dan penindasan terhadap orang-orang yang lemah dan miskin.
Mereka menolak kebenaran yang dibawa oleh Nabi Syuaib, namun menolaknya, bahkan mereka menganggapnya sebagai penyihir dan pesulap ulung. Nabi Syu'aib mengerti bahwa kaumnya telah ditutup hatinya. Ia berdoa kepada Allah agar diturunkan azab pada kaum Madyan. Allah mengabulkan doa Syu'aib dan menimpakan azab melalui beberapa tahap.
Kaum Madyan pada awalnya diberi siksa Allah melalui udara panas yang membakar kulit dan membuat dahaga. Saat itu, pohon dan bangunan tidak cukup untuk tempat berteduh mereka. Namun, Allah memberikan gumpalan awan gelap untuk kaum Madyan. Kaum Madyan pun menghampiri awan itu untuk berteduh sehingga mereka berdesak-desakan dibawah awan itu. Hingga semua penduduk terkumpul, Allah menurunkan petir dengan suaranya yang keras di atas mereka. Saat itu juga Allah menimpakan gempa bumi bagi mereka, menghancurkan kota dan kaum Madyan.

B.     SISTEM KAPITALISME PADA ZAMAN NABI SYU’AIB
. Kalau kita membuka kembali cerita sejarah zaman para Nabi, kita akan menemukan sebuah kemiripan kisah kapitalisme .kapitalisme yaituKapitalisme adalah sebuah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan perekonomian. Seperti memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang. Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya.. Lebih tepatnya pada zaman Nabi Syu’aib. Al Qur’an telah merekam kisahnya dengan baik dan penuh pelajaran untuk kita semua tentang bobroknya sistem kapitalisme ini. Memang kisah kapitalisme zaman Nabi Syu’aib tidak serumit zaman sekarang. Dahulu belum mengenal sistem keuangan internasional, juga belum ada lembaga pendonor seperti IMF, World Bank atau ADB yang terus menyebar ranjau utangnya ke negara-negara berkembang. Akan tetapi secara substansi nilai sosial yang terjadi tidak berbeda.
Kecurangan dalam takaran dan timbangan
Nabi Syu’aib menyeru akan sebuah kesalahan sistem sosial yang terjadi dengan kaumnya, Madyan. Ya, negeri itu memang memiliki tingkat perekonomian yang tinggi. Kota ini terkenal dengan iklim perdagangannya yang sudah mapan. Namun ada satu hal yang membuat ganjal dan menjadi perhatian penuh bagi Nabi Syu’aib. Ialah kecurangan para pedagang kota itu yang mengakibatkan sistem ekonomi yang tercipta tidak sehat. Al Qur’an kembali menegaskan kelalaian penduduk Madyan yang notabene telah Allah SWT beri karunia lebih. Kesejahteraan yang tercipta di kota itu bukanlah melalui jalan yang benar. Allah tidak meridhai kebiasaan para pedagang Madyan, sehingga diutuslah Nabi Syu’aib. Dalam Firman-Nya:
Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik (makmur). Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (kiamat).” (QS. Hud: 84)
Bagaimana bisa kita menganggap tindakan kaum Madyan yang mengurangi takaran dan timbangan sebagai sebuah tindakan kapitalis? Memang dari segi wujud memang kita tidak menemukan kesamaan definisi kapitalisme itu sendiri. Toh sampai sekarang tindakan mengurangi berat timbangan masih marak dilakukan orang dan itu bukan bentuk kapitalisme sesungguhnya yang saat ini tersistematis. Namun jika kita analisis lebih dalam lagi bahwa hal kecil yang sudah terjadi pada zaman Nabi Syu’aib ini menjadi bibit tumbuhnya konsep kapitalisme modern. Negeri makmur yang tidak berdiri pada asas keadilan. Itulah titik poin kesamaan dari apa yang terjadi pada kota Madyan dengan konsep kapitalisme modern. Bibit itu sudah muncul sejak dahulu, dan Allah telah memperingatkan mereka melalui Nabi Syu’aib.
Takaran dan timbangan bisa mengacu pada dua hal berikut; perbuatan dan alat produksi. Takaran merupakan buah dari perilaku seorang pedagang. Sedangkan timbangan bisa kita arahkan kepada alat produksi. Dan kedua hal ini sangat bergantung pada pedagangnya. Ketika motivasi utama yang dipegang oleh para pelakunya hanyalah keuntungan semata, maka tidak mustahil peluang kecurangan itu hadir dan terwujudkan. Asas keadilan dan kebenaran diabaikan demi kepentingan individu. Inilah yang mengilhami Adam Smith (1723-1790) dengan teorinya “setiap individu secara terus-menerus senantiasa mencari pekerjaan yang paling menguntungkan dirinya.” Teori tersebut melupakan unsur moralitas bahwa kehidupan bersosial juga perlu memperhatikan asas keadilan, meskipun memang kenyataannya kemampuan tiap individu berbeda-beda.
Kembali kepada pedagang Madyan yang terus memelihara sifat tamaknya akan materi sehingga membutakan mata hati mereka akan jalan kebenaran. Bibit kapitalisme yang terus tumbuh dalam diri mereka membuat Allah semakin murka. Ditambah dengan dicampakkannya seruan utusan-Nya seperti yang diterangkan dalam Al Qur’an.
Mereka berkata: “Hai Syu’aib! Apakah agamamu yang menyuruhmu agar kami meninggalkan apa yang disembah nenek moyang kami atau melarang kami mengelola harta kami menurut cara yang kami kehendaki? Sesungguhnya engkau benar-benar orang yang sangat penyantun dan pandai.” (QS Hud: 87)
Seruan kebenaran ditolaknya. Sistem kapitalisme yang telah membuat kaum Madyan lalai akan agama Allah, tenggelam dalam kenikmatan duniawi. Sehingga tak pelak Allah kemudian mendatangkan azab bagi mereka. Seperti yang tercantum dalam Al Qur’an.
“Mereka mendustakannya (Syu’aib), maka mereka ditimpa gempa yang dahsyat, lalu jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka.” (QS. Al Ankabut: 37)
Begitulah akhir kisah tragis penduduk yang memuja sistem ekonomi kapitalisme. Perdagangan yang tidak dilandaskan pada asas kejujuran dan keadilan telah membuat orang-orang terjerumus ke lembah hitam azab Allah SWT. Dan semoga bangsa Indonesia bisa belajar dari kisah ini bagaimana menciptakan iklim perekonomian yang sehat, yang telah diatur di dalam agama. 

Rabu, 28 Oktober 2015

KOMPILASI HUKUM ISLAM (BAB PERKAWINAN)


BAB I
PENDAHULUAN
A.                LATAR BELAKANG
Dalam selama masa hidupnya seorang manusia pada umumnya melalui suatu tahap dimana iya membentuk suatu keluarganya sendiri melalui pernikahan, melalui proses tersebutlah seseorang dapat atau memulai untuk mempunyai keluarganya sendiri. Banyak motif seseorang melakukan sebuah pernikahan baik berdasarkan motif biologis, sosiologis, religious, sikologis, ekonomis, politis, maupun genetis.
Perkawinan itu sendiri mempunyai arti penting baik bagi diri sendiri maupun masyarakat, khususnya penting terhadap masyarkat Karna perkawina mengakibatkan munculnya sub tatanan baru dalam masyarakat dengan kata lain keluarga merupakan suatu kompomen pembentuk dari masyarakat. Sebuah keluarga mempunyai andil terhadap cerminan seperti apa masyarakat dalam suatu tempat, maka dari itu untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat atau struktur social yang baik demi terciptannya suatu keteraturan social diperlukannya suatu aturan yang mengatur tentang perkawinan dan keluarga.
 Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, baik dari segi budaya, suku, ras, agama, muncul suatu system hokum yang berbeda beda yang mengatur tentang perkawinan, dan aturan aturan lainnya mengenai yang berhubungan dengan keluarga. Khususnya agama yang menciptakan suatu aturan yang mengatur hal tersebut, Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia  tardapat suatu autran  mengenai penafsiran sumber-sumber hukum Islam tersebut yang menyangkut perkawinan yang diakui atau disetarakan sebagai hokum positif yang berlaku secara nasional.
Seperti yang kita ketahui penafsiran sumber-sumber hukum Islam  yang menyangkut perkawinan tertuang dalam KHI melalui Inpres nomor 1 tahun 1991 yang didalamnya mengatur tentang perkawinan dan kewarisan.
 KHI-Inpres adalah materi hukum Islam yang memuat ketentuan hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Meski bersifat fakultatif (tidak imperatif), tetapi kenyataan di lapangan KHI-Inpres hampir 100% digunakan para hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara, juga dijadikan rujukan para pejabat Kantor Urusan Agama dan sebagian anggota masyarakat. Selain dari aspek bahasa mudah dipahami, karena berbahasa Indonesia, KHI-Inpres juga memberikan kepastian hukum karena tidak menawarkan pilihan hukum sebagaimana tradisi fiqh.
Dalam makalah ini akan akan membahas seperti apakah kedudukan KHI dalam hokum keluarga dan perkawina dan apa sajakah hal-hal yang diatur dalam KHI tersebut melalui pasal pasalnnya.






















BAB II

PEMBAHASAN

A.                PENGERTIAN PERKAWINAN
Di dalam Bab II KHI pasal 2 disebutkan bahwa makna perkawinan adalah :
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” 
B.                  TUJUAN PERKAWINAN
Sebagaimana yang tercantum dalam Bab II pasal 3 KHI, tujuan perkawinan adalah : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”Dengan maksud lain adalah untuk mencari sakinah, mawaddah dan rahmah adalah untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman dan bertanggung jawab.
C.                PEMINANGAN
 Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 Bab 1 huruf a bahwa pengertian peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita denagan cara-cara yang baik (ma’ruf). Peminangan langsung dapat dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (pasal 11 KHI).
Peminagan juga dapat dilakukan secara terang terangan (shorih) atau dengan sindiran (kinayah)
D.                RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN
Syarat Syarat Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Rukun dan Syarat Perkawinan Bab IV Pasal 14 telah tertulis sebagai berikut:
“Untuk melaksanakan perkawinan harus ada
a. Calon Suami
b. Calon Isteri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi dan
e. Ijab dan Kabul.”

Lima perkara yang ditetapkan oleh KHI ini adalah sesuai dengan syariat Islam. Ini dikarenakan lima perkara ini adalah bagian dari rukun nikah di dalam mazhab Syafi’ sebagai salah satu mazhab terkemuka di dunia ini.

Pasal 15 angka (1) Kompilasi Hukum Islam yang mengatur calon mempelai pula menyatakan sebagai berikut:
1.  Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Menurut ketentuan di dalam Pasal 15 ini, secara jelas KHI telah membatasi umur calon mempelai (calon suami dan istri), sesuai dengan Undang-Undang yang berada di atasnya yaitu UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 angka (1).
  
Dalam hal ini, ternyata KHI berusaha untuk menghilangkan perbedaan yang terjadi dikalangan ulama dengan menetapkan batasan 16 tahun bagi calon wanita dan 19 bagi calon pria.  Konsep ini dikenal dengan kaidah “حكم الحاكم يرفع الخلاف. Menurut kaidah ini; kalau seorang hakim menjatuhkan hukuman sesuai dengan sebuah pendapat (dalam mazhab fiqh), yang mana ternyata pendapat tersebut tidak sesuai dengan keyakinan mazhab terdakwa, maka wajib bagi terdakwa mengikuti pendapat hakim menurut qaul yangashoh (wajib ikut secara lahir dan batin). Maka kalau pemerintah/mahkamah agung menentukan batasan baligh, maka wajib bagi rakyat untuk patuh pada ketetapan hakim tersebut, karena permasalahan ini adalah khilâf, dan ketetapan hakim itu adalah menghilangkan khilaf.

2.  Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
Dalam hal ini, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) menyatakan seperti ini:
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.

Ternyata KHI (yang mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974), undang-undang Syuriah, dan Enactment di Negeri Selangor sekalipun tidak berani menetapkan sesuatu yang bukan syariat secara mutlak. Undang-undang ini masih memberi ruang bagi orang yang sudah benar-benar dianggap baligh walaupun belum mencapai umur baligh dengan ketentuan orang yang bersangkutan haruslah melaporkan dan memohon kepada pengadilan. Perkara ini ditegaskan Dr. Wahbah al-Zuhayli tujuannya adalah demi menjaga kemaslahatan pemuda-pemudi dalam hal keprawanan dan keperjakaan di dalam pernikahan, dan menjaga mereka daripada terjadi penyimpangan


E.                 MAHAR
Di dalam KHI, mahar diatur di dalam pasal 30 sampai pasal 38 didalam pasal 30 dinyatakan:
           
Calon mempelai pria, wajib membayar mahar kepada calon mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal yang juga sangat penting diperhatikan adalah terdapat di dalam pasal 31 yang berbunyi:

Penentuan mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama islam.[1]

           Dengan demikian kendatipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa dilecehkan atau disepelekan. [2]

F.                   LARANGAN PERKAWINAN
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda : a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
Juga di dalam Pasal 40 disebutkan,
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengAn seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal 41 berisi,
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya.
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42 tertera larangan sebagai berikut,
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43 juga menyebutkan bahwa.
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali.
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama.
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

G.                PERJANJIAN PERKAWINAN

Perjanjian perkawina pasal 45-52 yaitu Perjanjian perkawinan dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu kesepakatan bersama bagi calon suami dan calon istri yang harus dipenuhi apabila mereka sudah menikah, tetapi jika salah satu tidak memenuhi ataupun melanggar perjanjian perkawinan tersebut maka salah satunya bisa menuntut meminta untuk membatalkan perkawinannya begitu juga sebaliknya, sebagai sanksi atas tidak dipenuhinya perjanjian perkawinan tersebut. Perjanjian ini juga bisa disebut sebagai perjanjian pra-nikah karena perjanjian tersebut dilaksanakan secara tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam perjanjian perkawinan tidak dapat di sahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Mengenai perjanjian taklik talak, perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

H.                KAWIN HAMIL
Masalah ini juga termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 153 ayat 2c “Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu diteteapkan sampai melahirkan”, dan ayat 2d “Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan” (Depag, 2000:71).
Ternyata larangan untuk menikahi perempuan hamil dari perkawinan yang sah tidak berlaku untuk perempuan yang hamil di luar nikah. Bahkan pernikahan perempuan hamil di luar nikah sendiri secara sah diakui dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini dimuat dalam pasal 57 ayat 1 KHI yang berbunyi “seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” (Depag, 2000:33).
Akad perkawinan yang dilangsungkan antara perempuan yang hamil di luar nikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak harus menunggu sampai melahirkan bayinya. Pernikahan dapat dilangsungkan pada saat perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil. Dan akad tesebut juga sah, seperti yang tertera dalam pasal 53 ayat 2 KHI “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”(Depag, 2000:33).
Akad perkawinan yang dilangsungkan pada saat perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil sudah dianggap sah demi hukum. Setelah anak yang dikandung itu lahir, maka tidak diperlukan perkawinan ulang lagi antara perempuan dan laki-laki tadi. Ini seperti yang termaktub dalam pasal 53 ayat 3 KHI “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir” (Depag, 2000:33).

I.                   BERISTRI LEBIH DARI SATU ORANG
Ketentuan KHI menyangkut poligami tidak jauh berbeda dengan UU Perkawinan. Hanya saja di dalam KHI dijelaskan antara lain bahwa pria beristeri lebih dari satu diberikan pembatasan, yaitu seorang pria tidak boleh beristeri lebih dari 4 (empat) orang. Selain itu, syarat utama seorang pria untuk mempunyai isteri lebih dari satu adalah pria tersebut harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anaknya (Pasal 55 KHI). 
Menurut KHI, suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Jika perkawinan berikutnya dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 56 KHI).
Sama seperti dikatakan dalam UU Perkawinan, menurut Pasal 57 KHI, Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang jika:
a.    istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
b.    istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.    istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain alasan untuk menikah lagi harus jelas, Kompilasi Hukum Islam juga memberikan syarat lain untuk memperoleh izin Pengadilan Agama. Syarat-syarat tersebut juga merujuk pada Pasal 5 UU Perkawinan, yaitu: (Pasal 58 KHI)
a.    adanya persetujuan istri;
b.    adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

J.                  PENCEGAHAN PERKAWINAN
Dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) yang di maksud pencegahan perkawinan adalah
1)      Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkwinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
2)      Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melansungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan:
1.                  Syarat materil
2.                  Syarat administratif

K.                PEMBATALAN PERKAWINAN
Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan) apabila perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan kepengadilan.
Pasal 70 KHI
(1)   Perkawinan batal apabila:
1.                  Suami elakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i.
2.                  Seseorang yang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.
3.                  Seseorang menikahi istri yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian cerai lagi ba’da dukhul  dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
4.                  Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan susuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No.1/1974, yaitu:
1)       berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
2)      berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3)      berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4)      berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
(2)   Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
Pasal 71 KHI
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
1.                  Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama.
2.                  Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud (menghilang tanpa berita apakah masih hidup atau sudah meninggal)
3.                  Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lainnya
4.                  Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dlam pasal 7 UU No. 1/1974
5.                  Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
6.                  Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 UU No. 1 /1974 dan pasal 73 KHI, yaitu:
Hak dan kewajiban suami istri
Hak dan kewajibab istri atas suami menurut kompilasi Hukum Islam dan kewajiban suami atas istri di jelasakan dalam pasal berikut:
Pasal 83
Kewajiban
1.                  Kewajiban utama bagibagi seorang istri ialah berbakti lahir batin kepada suami di dalm bata-batas yang di benarkan oleh hukum islam
2.                  Istri yang menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik –baiknya
Pasal 84
1.                  Istri di anggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagimana di maksud dalm pasal 83 ayat 1 kecuali dengan alasan yang sah
2.                  Selama istri dalm nusyuz ,kewajiabn suami atas istrinya tersebut dalam pasal 80 ayat 4 tidak berlaku kecuali hal hal untuk kepentingan anaknya.
3.                  Keawajiban suami tersebut pada ayat di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.
4.                  Keterangan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus di dasarkan atas bukti yang sah
L.                 HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
1.      Kewajiban Suami
a.       Kewajiban Suami yang Mempunyai seorang
Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri berbeda dari kewajiban yang mempunyai istri lebih dari seorang. Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri diatur dalam pasal 80 dan 81 KHI.
Kewajiban suami tersebut merupakan hak istri yang harus diperoleh dari suami berdasarkan kemampuannya. Hal itu, bersumber dari Firman Allah SWT Surah At-Thalaq (65) ayat 6.
b.      Kewajiban Suami yang Beristri Lebih dari Seorang
Pasal 82 KHI mengatur kewajiban mengenai kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang. Berdasarkan pasal 82 KHI dipahami bahwa kewajiban suami kepada istrinya-istrinya adalah berperilaku seimbang, sepadan, dan selaras atau dalam bahasa Alquran disebut adil. Hal ini bersumber dari Firman Allah dalam Surah An-Nisaa (4) ayat 3.
2.      Kewajiban Istri
Selain kewajiban suami yang merupakan suami yang merupakan hak istri, maka hak suami pun ada yang merupakan kewajiban istri. Hal itu diatur dalam pasal 34 Undang-Undang Perkawinan secara umum dan secara rinci diatur dalam Pasal 83 dan 84 KHI.
Tolok ukur mengenai istri yang nusyuz adalah sang istri membangkang terhadap suaminya, tidak mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami istri tanpa alasan yang jelas dan sah berdasarkan hukum Islam dan/atau istri keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau setidak-tidaknya diduga sang suami tidak menyetujuinya.

M.               HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Harta bersama menurut Kompilasi Hukum Islam di atur dalam bab XIII yang termuat pada pasal 85 sampai pasal 97. Kompilasi Hukum Islam menegaskan isyarat yang tertuang dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 32 yang artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi orang laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
  Isyarat dan penegasan ayat tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 85, 86 dan 87, yaitu : Pasal 85 : Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemugkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri, Pasal 86 : ayat (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan, ayat (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Kemudian Pasal 87 : ayat (1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjajian perkawinan, ayat (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, sodaqoh atau lainnya.
N.                PEMELIHARAAN ANAK
Satu-satunya aturan yang dengan jelas dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan: 
“Dalam hal terjadi perceraian :
a)    pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b)    pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
c)    biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang memeluk agama islam (yang perkaranya di periksa dan di putus di pengadilan agama.
O.                PERWALIAN
Perwalian bagi orang – orang beragama Islam di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 107-111. Pasal 107 mengatur bahwa perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami usia dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah kawin.

Perwalian menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.

Apabila  wali  tidak  mampu  berbuat  atau  lalai  melaksanakan  tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali. Pembatalan perwalian lama dan penunjukan perwalian baru ini adalah atas permohonan kerabat tersebut. Untuk menjadi wali sedapat – dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain. Syarat menjadi wali adalah harus sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Disamping orang perorangan, Badan Hukum juga dapat menjadi wali.(Darwan Prinst,Hukum Anak Indonesia,Cetakan II,PT. Citra Aditya Bakti,Malang, 2003,hal. 122.)

Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pengangkatan wali dapat juga terjadi karena adanya wasiat dari orang tua si anak, yang mewasiatkan kepada seseorang atau Badan Hukum tertentu untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak – anaknya sesudah ia meninggal dunia. (Lihat Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam)

Selanjutnya pasal 109 menentukan, bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau Badan Hukum dan memindahkannya kepada Pihak lain.(Lihat Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam)Permohonan untuk itu diajukan oleh kerabatnya, dengan alasan wali tersebut; pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan yang berada di bawah perwaliannya.

Pasal 110 mengatur kewajiban wali untuk mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, wali wajib memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya kepada anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.(Lihat Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam) Untuk itu wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.

Dalam menjalankan tugasnya wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan – perubahan harta benda anak atau anak – anak itu.

Apabila anak yang berada di bawah perwalian telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, maka wali berkewajiban menyerahkan seluruh hartanya kepadanya.(Lihat Pasal 111 Kompilasi Hukum Islam) Dan setelah masa perwalian ini berakhir, Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di bawah perwaliannya, tentang harta yang diserahkan kepadanya. Namun, wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali itu fakir. (Lihat Pasal 112 Kompilasi Hukum Islam )

P.                 PUTUSNYA PERKAWINAN
PENGERTIAN PERCERAIAN MENURUT kompilasi Hukum Islam (instruksi presiden tahun 1990) telah du jumpai dalam pasal 117,yaitu “talak adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agamayang mengadili sebab putusnya perkawinan dengan cara  sebagimana di maksud dalam pasal 129.130,131”.[3] Di dalm Kompilasi Hukum Islam (KHI ) hal-hal mengenai perceraian telah di atur dalam pasal 113 sampai dengan pasal 148 kompilasi hukum islam(KHI).dengan melihat isi pasal-pasal tersebut dapat di ketahui bahwa prosedur perceraian tidak mudah ,karena harus memiliki alasan –alasan yang kuatdan alasan-alasan tersebut harus benar-benar menurut hukum,hal ini di tegaskan dalam pasal115 Kompilasi hukum Islam(KHI) yangng isinya sebagai berikut
perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”[4]
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 115 seperti yang termaktub di atas maka yang di maksud perceraian presefektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah proses ikrar talak yang harus di lakukan di depan persidangan dan di saksikan oleh para hakim Pengadilan Agama. Apabila pengucapan ikrar  talak itu di lakukan di luar  persidangan maka ikrar talak tersebut merupakan talak liar dan yang di anggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hkum yang mengikat  karena KHI menjelaskan pada apasal 113 yang menyebutkan.[5] 
Perkawinan dapat putus karena:
Kematian
Perceraian
Atas putusan pengadilan( Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam)
Putusnya perkawinan yang di sebabkan karenaperceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
perceraian hanya dapat di lakukan didepan sidang pengadilan Agama,setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belahpihak.[6]
Sehingga KHI mengisyartakan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak )harus di hadapkan di depan sidang pengadilan .tampaknya UU no 7 tahun 1989 tentang peradilan agama juga menjelaskan hal yang sam seperti terdapat pada pasal 66 ayat (1)yang berbunyi
“seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak.[7]
Q.    AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Menurut KHI pasal 149, apabila perkawinan putus karena cerai talak, maka suami wajib melunasi mahar (yang terhutang) seluruhnya apabila istrinya sudah dicampuri, dan setengah bagi istri yang belum dicampuri. Kemudian bekas suami wajib memberikan mut’ah berupa uang atau benda kepada bekas istri kecuali belum dicampuri. Selain itu ada juga kewajiban memberi nafkah berupamaskan dan kiswah selama bekas istri dalam masa iddah kecuali jatuh talak ba’in atau nusyuz sedang bekas istri dalam keadaan hamil. Serta adanya kewajiban memberikan biaya hadhanah bagi anak di bawah umur 21 tahun.
Hak Penguasaan Pemeliharaan Anak (Hadhanah)Ø Menurut KHI pasal 156, anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya meninggal dunia maka kedudukannya digantikan oleh :
a) Wanita-wanita dalam garis lurus ibu
b) Ayah
c) Wanita-wanita dalam garis lurus ayah
d) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

e) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
f) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
Sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih hadhanah dari ibu atau ayahnya. Dan pengadilan berhak memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang berhak hadhanah pula apabila keselamatan jasmani dan rohani anak tidak terjamin meskipun nafkah hadhanah sudah terpenuhi.
Ø Hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun jika terjadi perceraian adalah menjadi hak ibunya, sebagaimana tercantum dalam Kompilasi hukum Islam Pasal 105 huruf a.
Ø Biaya pemeliharaan dan penyusuan anak menjadi tanggung jawab ayahnya menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). Apabila ayahnya meninggal dunia, maka penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. Seperti yang tercantum dalam Kompilasi hukum Islam Pasal 104 ayat(1-2), Pasal 105 huruf c, dan Pasal 156 huruf d.
Ø Eksekusi putusan hadhanah menurut KUH Perdata Pasal 319 f ayat (5) adalah tentang kepada siapa seharusnya anak itu dipercayakan, terlepas dari ada atau tidaknya orang tua atau perwalian yang telah mengurus anak tersebut.Apabila pihak yang menguasai anak itu menolak menyerahkannya, maka juru sita boleh menjadi perantara untuk melaksanakan keputusan itu.
R.    RUJUK
Pelaksanaan Rujuk Menurut KHI
Proses pelaksanaan rujuk yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat dalam BUKU 1 tentang Hukum Perkawinan pada bab XVIII. Di dalam bab tersebut di uraikan prosesnya dalam bentuk pasal-pasal yaitu sebanyak tujuh pasal yang dimulai dari pasal 36 sampai dengan pasal 169 yang terbagi kepada dua bagian, sebagai berikut:
BAGIAN KESATU (UMUM)
Pasal 163:
(1) Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qobla dukhul.
b. Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khulu’.
Pasal   164 :
Seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegewai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.
Pasal 165 :
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166 :
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.
BAGIAN KEDUA (TATA CARA RUJUK)
Pasal 167:
(1)   Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan.
(2)   Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3)   Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam masa iddah talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
(4)   Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5)   Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati susmi istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168 :
(1)   Dalam hal rujuk dilakukan dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang melayaninya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2)   Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.
(3)   Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169 :
(1)   Pegawai Pencatat Nikah Membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan Buku Pendaftaran rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2)    Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut dating ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talakdahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3)   Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan panitera.
S. MASA BERKABUNG
Pasal 170
(10 istri yang di tingglakan mati oleh suaminya ,wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) suami yang di tinggal mati oleh istrinya melakukan masa berkabung menurut kepatutan.

















[1] Budi Durachman,Kompilasi Hukum Islam (Bandung:Fokus Media,2005).Hal.,14
[2] Ibid, Hal.,66
[3] Abdul Ghani Abdullah ,pengantar kompilasi Hukum islam (KHI) dalam tata Hukum Indonesia,(jakarta,gema Insani Press:,1994)h 122 Kompilasi hukum Islam(KHI)putusnya perkawinan bagian kesatu umum pasal 115,h 1
[4] Kompilasi HukumIslam(KHI) bab XVI putusnya perkawinan bagian kesatu umum pasal 115 ,h 21.

[5] Ali Hasan ,pedoman hidup berumah tangga dalam islam(Jakarta, siraja ,2006) h 161.selanjutnya di sebut Ali Hasan  pedoman hidup
[6] Mohd Idris Ramulyo,Hukum Perkawina Islam suatu nalisis dari UU no 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam(jakarta,bumi aksara,1999)cet 2,h 152.selanjutnya di sebut idris Ramulyo ,hukum perkawinan)
[7] Ammiur nurudindan azhari akmal tarigan,hukum perdata islam di indonesia(jakarta,kencana,2004)cet 1,h 221.         
.