BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam
selama masa hidupnya seorang manusia pada umumnya melalui suatu tahap dimana
iya membentuk suatu keluarganya sendiri melalui pernikahan, melalui proses
tersebutlah seseorang dapat atau memulai untuk mempunyai keluarganya sendiri.
Banyak motif seseorang melakukan sebuah pernikahan baik berdasarkan motif
biologis, sosiologis, religious, sikologis, ekonomis, politis, maupun genetis.
Perkawinan
itu sendiri mempunyai arti penting baik bagi diri sendiri maupun masyarakat,
khususnya penting terhadap masyarkat Karna perkawina mengakibatkan munculnya
sub tatanan baru dalam masyarakat dengan kata lain keluarga merupakan suatu
kompomen pembentuk dari masyarakat. Sebuah keluarga mempunyai andil terhadap
cerminan seperti apa masyarakat dalam suatu tempat, maka dari itu untuk
menciptakan suatu tatanan masyarakat atau struktur social yang baik demi
terciptannya suatu keteraturan social diperlukannya suatu aturan yang mengatur
tentang perkawinan dan keluarga.
Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang
beragam, baik dari segi budaya, suku, ras, agama, muncul suatu system hokum
yang berbeda beda yang mengatur tentang perkawinan, dan aturan aturan lainnya
mengenai yang berhubungan dengan keluarga. Khususnya agama yang menciptakan
suatu aturan yang mengatur hal tersebut, Islam merupakan agama mayoritas di
Indonesia tardapat suatu autran mengenai penafsiran sumber-sumber
hukum Islam tersebut yang menyangkut perkawinan yang diakui atau disetarakan
sebagai hokum positif yang berlaku secara nasional.
Seperti
yang kita ketahui penafsiran sumber-sumber hukum Islam yang menyangkut
perkawinan tertuang dalam KHI melalui Inpres nomor 1 tahun 1991 yang didalamnya
mengatur tentang perkawinan dan kewarisan.
KHI-Inpres
adalah materi hukum Islam yang memuat ketentuan hukum perkawinan, hukum
kewarisan, dan hukum perwakafan. Meski bersifat fakultatif (tidak imperatif),
tetapi kenyataan di lapangan KHI-Inpres hampir 100% digunakan para hakim
Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara, juga dijadikan rujukan para pejabat
Kantor Urusan Agama dan sebagian anggota masyarakat. Selain dari aspek bahasa
mudah dipahami, karena berbahasa Indonesia, KHI-Inpres juga memberikan
kepastian hukum karena tidak menawarkan pilihan hukum sebagaimana tradisi fiqh.
Dalam
makalah ini akan akan membahas seperti apakah kedudukan KHI dalam hokum
keluarga dan perkawina dan apa sajakah hal-hal yang diatur dalam KHI tersebut
melalui pasal pasalnnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
PERKAWINAN
Di dalam Bab II KHI pasal 2 disebutkan bahwa makna
perkawinan adalah :
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalidzan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
B.
TUJUAN
PERKAWINAN
Sebagaimana yang tercantum dalam Bab II pasal 3 KHI,
tujuan perkawinan adalah : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”Dengan maksud lain adalah
untuk mencari sakinah, mawaddah dan rahmah adalah untuk memenuhi kebutuhan
biologis secara legal, sehat, aman, nyaman dan bertanggung jawab.
C.
PEMINANGAN
Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 Bab 1 huruf a bahwa pengertian peminangan adalah
kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan
seorang wanita denagan cara-cara yang baik (ma’ruf). Peminangan langsung dapat
dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tapi dapat pula
dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (pasal 11 KHI).
Peminagan
juga dapat dilakukan secara terang terangan (shorih) atau dengan sindiran
(kinayah)
D.
RUKUN DAN
SYARAT PERKAWINAN
Syarat
Syarat Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Di
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Rukun dan Syarat Perkawinan Bab IV
Pasal 14 telah tertulis sebagai berikut:
“Untuk
melaksanakan perkawinan harus ada
a.
Calon Suami
b.
Calon Isteri
c.
Wali nikah
d.
Dua orang saksi dan
e.
Ijab dan Kabul.”
Lima
perkara yang ditetapkan oleh KHI ini adalah sesuai dengan syariat Islam. Ini
dikarenakan lima perkara ini adalah bagian dari rukun nikah di dalam mazhab
Syafi’ sebagai salah satu mazhab terkemuka di dunia ini.
Pasal 15 angka (1) Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur calon mempelai pula menyatakan sebagai berikut:
1.
Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7
Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur
19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Menurut ketentuan di dalam
Pasal 15 ini, secara jelas KHI telah membatasi umur calon mempelai (calon suami
dan istri), sesuai dengan Undang-Undang yang berada di atasnya yaitu UU No. 1
Tahun 1974 Pasal 7 angka (1).
Dalam hal ini, ternyata KHI
berusaha untuk menghilangkan perbedaan yang terjadi dikalangan ulama dengan
menetapkan batasan 16 tahun bagi calon wanita dan 19 bagi calon pria.
Konsep ini dikenal dengan kaidah “حكم الحاكم يرفع الخلاف”. Menurut kaidah ini; kalau seorang hakim menjatuhkan
hukuman sesuai dengan sebuah pendapat (dalam mazhab fiqh), yang mana
ternyata pendapat tersebut tidak sesuai dengan keyakinan mazhab terdakwa, maka
wajib bagi terdakwa mengikuti pendapat hakim
menurut qaul yangashoh (wajib ikut secara lahir dan batin). Maka
kalau pemerintah/mahkamah agung menentukan batasan baligh, maka wajib bagi rakyat untuk
patuh pada ketetapan hakim tersebut, karena permasalahan ini
adalah khilâf, dan ketetapan hakim itu
adalah menghilangkan khilaf.
2.
Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati
izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1
Tahun 1974.
Dalam
hal ini, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
menyatakan seperti ini:
(2)
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3)
Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
(4)
dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan
kehendaknya.
(5)
Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang
akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan
ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) dalam pasal ini.
Ternyata
KHI (yang mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974), undang-undang Syuriah, dan Enactment di
Negeri Selangor sekalipun tidak berani menetapkan sesuatu yang bukan syariat secara
mutlak. Undang-undang ini masih memberi ruang bagi orang yang sudah benar-benar
dianggap baligh walaupun belum mencapai umur baligh dengan ketentuan orang yang
bersangkutan haruslah melaporkan dan memohon kepada pengadilan. Perkara ini
ditegaskan Dr. Wahbah al-Zuhayli tujuannya adalah demi menjaga kemaslahatan
pemuda-pemudi dalam hal keprawanan dan keperjakaan di dalam pernikahan, dan
menjaga mereka daripada terjadi penyimpangan
E.
MAHAR
Di
dalam KHI, mahar diatur di dalam pasal 30 sampai pasal 38 didalam pasal 30
dinyatakan:
Calon mempelai pria, wajib membayar mahar kepada calon
mempelai perempuan yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah
pihak.
Pasal
yang juga sangat penting diperhatikan adalah terdapat di dalam pasal 31 yang
berbunyi:
Penentuan mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan
dan kemudahan yang dianjurkan oleh agama islam.
Dengan demikian kendatipun mahar itu wajib, namun dalam penentuannya tetaplah
harus mempertimbangkan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya, bentuk dan
harga mahar tidak boleh memberatkan calon suami dan tidak pula boleh
mengesankan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa
dilecehkan atau disepelekan.
F.
LARANGAN
PERKAWINAN
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita disebabkan :
(1) Karena pertalian nasab
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya
(2) Karena pertalian kerabat semenda : a. dengan
seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang
menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas
isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu
qobla al dukhul
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut
garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya
menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan
kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi
sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan
keturunannya.
Juga di dalam Pasal 40 disebutkan,
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengAn seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41 berisi,
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan
seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan
isterinya
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau
keturunannya.
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku
meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42 tertera larangan sebagai berikut,
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri
yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah
talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan
sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Pasal 43 juga menyebutkan bahwa.
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak
tiga kali.
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur,
kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan
tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama.
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
G.
PERJANJIAN
PERKAWINAN
Perjanjian perkawina pasal 45-52 yaitu Perjanjian perkawinan
dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu kesepakatan bersama bagi
calon suami dan calon istri yang harus dipenuhi apabila mereka sudah menikah,
tetapi jika salah satu tidak memenuhi ataupun melanggar perjanjian perkawinan
tersebut maka salah satunya bisa menuntut meminta untuk membatalkan
perkawinannya begitu juga sebaliknya, sebagai sanksi atas tidak dipenuhinya
perjanjian perkawinan tersebut. Perjanjian ini juga bisa disebut sebagai
perjanjian pra-nikah karena perjanjian tersebut dilaksanakan secara tertulis
pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus disahkan oleh
Pegawai Pencatat Nikah. Dalam perjanjian perkawinan tidak dapat di sahkan
apabila melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Mengenai perjanjian
taklik talak, perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat dicabut kembali.
H.
KAWIN HAMIL
Masalah ini juga termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 153 ayat 2c “Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang
janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu diteteapkan sampai melahirkan”, dan
ayat 2d “Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan” (Depag,
2000:71).
Ternyata larangan untuk menikahi perempuan hamil dari
perkawinan yang sah tidak berlaku untuk perempuan yang hamil di luar nikah.
Bahkan pernikahan perempuan hamil di luar nikah sendiri secara sah diakui dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hal ini dimuat dalam pasal 57 ayat 1 KHI yang
berbunyi “seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya” (Depag, 2000:33).
Akad perkawinan yang dilangsungkan antara perempuan
yang hamil di luar nikah dengan laki-laki yang menghamilinya tidak harus
menunggu sampai melahirkan bayinya. Pernikahan dapat dilangsungkan pada saat
perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil. Dan akad tesebut juga sah,
seperti yang tertera dalam pasal 53 ayat 2 KHI “Perkawinan dengan wanita
hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih
dahulu kelahiran anaknya”(Depag, 2000:33).
Akad perkawinan yang dilangsungkan pada saat perempuan
tersebut masih dalam keadaan hamil sudah dianggap sah demi hukum. Setelah anak
yang dikandung itu lahir, maka tidak diperlukan perkawinan ulang lagi antara
perempuan dan laki-laki tadi. Ini seperti yang termaktub dalam pasal 53 ayat 3
KHI “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir” (Depag,
2000:33).
I.
BERISTRI
LEBIH DARI SATU ORANG
Ketentuan
KHI menyangkut poligami tidak jauh berbeda dengan UU Perkawinan. Hanya saja di
dalam KHI dijelaskan antara lain bahwa pria beristeri lebih dari satu diberikan
pembatasan, yaitu seorang pria tidak boleh beristeri lebih dari 4 (empat)
orang. Selain itu, syarat utama seorang pria untuk mempunyai isteri lebih dari
satu adalah pria tersebut harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya
dan anak-anaknya (Pasal 55 KHI).
Menurut
KHI, suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin
dari Pengadilan Agama. Jika
perkawinan berikutnya dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, perkawinan
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 56 KHI).
Sama
seperti dikatakan dalam UU Perkawinan, menurut Pasal 57 KHI, Pengadilan Agama
hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
jika:
a. istri tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Selain
alasan untuk menikah lagi harus jelas, Kompilasi Hukum Islam juga memberikan
syarat lain untuk memperoleh izin Pengadilan Agama. Syarat-syarat tersebut juga
merujuk pada Pasal 5 UU Perkawinan, yaitu: (Pasal 58 KHI)
a. adanya persetujuan istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
J.
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Dalam
kompilasi Hukum Islam (KHI) yang di maksud pencegahan perkawinan adalah
1)
Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkwinan yang dilarang
hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
2)
Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang
akan melansungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan.
Pencegahan
perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan:
1.
Syarat materil
2.
Syarat administratif
K.
PEMBATALAN PERKAWINAN
Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal
(dibatalkan) apabila perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat sesudah
diajukan kepengadilan.
Pasal 70 KHI
(1)
Perkawinan batal apabila:
1.
Suami elakukan perkawinan, sedang ia
tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri,
sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i.
2.
Seseorang yang menikahi bekas istrinya
yang telah dili’annya.
3.
Seseorang menikahi istri yang telah
dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah
menikah dengan pria lain yang kemudian cerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah
habis masa iddahnya.
4.
Perkawinan dilakukan antara dua orang
yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan susuan sampai derajat tertentu yang
menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No.1/1974, yaitu:
1)
berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
2)
berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3)
berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4)
berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
(2)
Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau
istri-istrinya.
Pasal 71 KHI
Suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila:
1.
Seorang suami melakukan poligami tanpa
izin pengadilan agama.
2.
Perempuan yang dikawini ternyata
kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud (menghilang tanpa
berita apakah masih hidup atau sudah meninggal)
3.
Perempuan yang dikawini ternyata masih
dalam masa iddah dari suami lainnya
4.
Perkawinan yang melanggar batas umur
perkawinan, sebagaimana ditetapkan dlam pasal 7 UU No. 1/1974
5.
Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau
dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
6.
Perkawinan yang dilaksanakan dengan
paksaan.
Orang yang
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 UU No. 1
/1974 dan pasal 73 KHI, yaitu:
Hak dan
kewajiban suami istri
Hak dan
kewajibab istri atas suami menurut kompilasi Hukum Islam dan kewajiban suami
atas istri di jelasakan dalam pasal berikut:
Pasal 83
Kewajiban
1.
Kewajiban utama bagibagi seorang istri ialah berbakti
lahir batin kepada suami di dalm bata-batas yang di benarkan oleh hukum islam
2.
Istri yang menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga sehari-hari dengan sebaik –baiknya
Pasal 84
1.
Istri di anggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagimana di maksud dalm pasal 83 ayat 1 kecuali dengan
alasan yang sah
2.
Selama istri dalm nusyuz ,kewajiabn suami atas istrinya
tersebut dalam pasal 80 ayat 4 tidak berlaku kecuali hal hal untuk kepentingan
anaknya.
3.
Keawajiban suami tersebut pada ayat di atas berlaku
kembali sesudah istri tidak nusyuz.
4.
Keterangan ada atau tidak adanya nusyuz dari istri
harus di dasarkan atas bukti yang sah
L.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
1. Kewajiban
Suami
a. Kewajiban
Suami yang Mempunyai seorang
Kewajiban suami yang
mempunyai seorang istri berbeda dari kewajiban yang mempunyai istri lebih dari
seorang. Kewajiban suami yang mempunyai seorang istri diatur dalam pasal 80 dan
81 KHI.
Kewajiban
suami tersebut merupakan hak istri yang harus diperoleh dari suami berdasarkan
kemampuannya. Hal itu, bersumber dari Firman Allah SWT Surah At-Thalaq (65)
ayat 6.
b. Kewajiban
Suami yang Beristri Lebih dari Seorang
Pasal
82 KHI mengatur kewajiban mengenai kewajiban suami yang beristri lebih dari
seorang. Berdasarkan pasal 82 KHI dipahami bahwa kewajiban suami kepada
istrinya-istrinya adalah berperilaku seimbang, sepadan, dan selaras atau dalam
bahasa Alquran disebut adil. Hal ini bersumber dari Firman Allah dalam Surah
An-Nisaa (4) ayat 3.
2. Kewajiban
Istri
Selain
kewajiban suami yang merupakan suami yang merupakan hak istri, maka hak suami
pun ada yang merupakan kewajiban istri. Hal itu diatur dalam pasal 34
Undang-Undang Perkawinan secara umum dan secara rinci diatur dalam Pasal 83 dan
84 KHI.
Tolok
ukur mengenai istri yang nusyuz adalah sang istri membangkang terhadap
suaminya, tidak mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami
istri tanpa alasan yang jelas dan sah berdasarkan hukum Islam dan/atau istri
keluar meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya atau setidak-tidaknya diduga
sang suami tidak menyetujuinya.
M.
HARTA
KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Harta bersama menurut Kompilasi Hukum Islam di atur dalam
bab XIII yang termuat pada pasal 85 sampai pasal 97. Kompilasi Hukum Islam
menegaskan isyarat yang tertuang dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 32 yang
artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi orang
laki-laki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita
(pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.
Isyarat dan penegasan ayat tersebut dijelaskan lebih
lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 85, 86 dan 87, yaitu : Pasal 85 :
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemugkinan adanya harta
milik masing-masing suami atau isteri, Pasal 86 : ayat (1) Pada dasarnya tidak
ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan, ayat (2)
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga
harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Kemudian Pasal
87 : ayat (1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjajian
perkawinan, ayat (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, sodaqoh atau lainnya.
N.
PEMELIHARAAN ANAK
Satu-satunya aturan yang dengan jelas
dan tegas memberikan pedoman bagi hakim dalam memutus pemberian hak asuh atas
anak tersebut terdapat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menyatakan:
“Dalam hal terjadi perceraian :
a) pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada
anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaan.
c) biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”
Ketentuan KHI diatas nampaknya tidak
dapat berlaku secara universal, karena hanya akan mengikat bagi mereka yang
memeluk agama islam (yang perkaranya di periksa dan di putus di pengadilan
agama.
O.
PERWALIAN
Perwalian bagi orang –
orang beragama Islam di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia Pasal 107-111. Pasal 107 mengatur bahwa perwalian hanya dapat
dilakukan terhadap anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dari ketentuan tersebut, dapat
dipahami usia dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah 21 (dua
puluh satu) tahun dan atau belum pernah kawin.
Perwalian menurut Hukum
Islam meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.
Apabila wali
tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan
tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang
kerabat untuk bertindak sebagai wali. Pembatalan perwalian lama dan penunjukan
perwalian baru ini adalah atas permohonan kerabat tersebut. Untuk menjadi wali
sedapat – dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain. Syarat
menjadi wali adalah harus sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan
berkelakuan baik. Disamping orang perorangan, Badan Hukum juga dapat menjadi
wali.(Darwan Prinst,Hukum Anak Indonesia,Cetakan II,PT. Citra Aditya
Bakti,Malang, 2003,hal. 122.)
Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pengangkatan wali dapat juga
terjadi karena adanya wasiat dari orang tua si anak, yang mewasiatkan kepada
seseorang atau Badan Hukum tertentu untuk melakukan perwalian atas diri dan
kekayaan anak atau anak – anaknya sesudah ia meninggal dunia. (Lihat Pasal
108 Kompilasi Hukum Islam)
Selanjutnya pasal 109
menentukan, bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau
Badan Hukum dan memindahkannya kepada Pihak lain.(Lihat Pasal 109 Kompilasi
Hukum Islam)Permohonan untuk itu diajukan oleh kerabatnya, dengan alasan wali
tersebut; pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan atau melalaikan atau
menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan yang berada
di bawah perwaliannya.
Pasal 110 mengatur
kewajiban wali untuk mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, wali wajib memberikan bimbingan agama, pendidikan dan
keterampilan lainnya kepada anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali
bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah
perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.(Lihat
Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam) Untuk itu wali bertanggung jawab terhadap
harta orang yang berada di bawah perwaliannya dan mengganti kerugian yang
timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Dalam menjalankan
tugasnya wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah
perwaliannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan –
perubahan harta benda anak atau anak – anak itu.
Apabila anak yang berada
di bawah perwalian telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, maka wali
berkewajiban menyerahkan seluruh hartanya kepadanya.(Lihat Pasal 111 Kompilasi
Hukum Islam) Dan setelah masa perwalian ini berakhir, Pengadilan Agama
berwenang mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di bawah
perwaliannya, tentang harta yang diserahkan kepadanya. Namun, wali dapat
mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali
itu fakir. (Lihat Pasal 112 Kompilasi Hukum Islam )
P.
PUTUSNYA PERKAWINAN
PENGERTIAN PERCERAIAN MENURUT kompilasi Hukum Islam
(instruksi presiden tahun 1990) telah du jumpai dalam pasal 117,yaitu “talak
adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agamayang mengadili sebab
putusnya perkawinan dengan cara
sebagimana di maksud dalam pasal 129.130,131”.
Di dalm Kompilasi Hukum Islam (KHI ) hal-hal mengenai perceraian telah di atur
dalam pasal 113 sampai dengan pasal 148 kompilasi hukum islam(KHI).dengan
melihat isi pasal-pasal tersebut dapat di ketahui bahwa prosedur perceraian
tidak mudah ,karena harus memiliki alasan –alasan yang kuatdan alasan-alasan
tersebut harus benar-benar menurut hukum,hal ini di tegaskan dalam pasal115
Kompilasi hukum Islam(KHI) yangng isinya sebagai berikut
“
perceraian hanya
dapat di lakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan tersebut berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 115 seperti yang
termaktub di atas maka yang di maksud perceraian presefektif Kompilasi Hukum
Islam (KHI) adalah proses ikrar talak yang harus di lakukan di depan
persidangan dan di saksikan oleh para hakim Pengadilan Agama. Apabila
pengucapan ikrar talak itu di lakukan di
luar persidangan maka ikrar talak
tersebut merupakan talak liar dan yang di anggap tidak sah dan tidak memiliki
kekuatan hkum yang mengikat karena KHI
menjelaskan pada apasal 113 yang menyebutkan.
Perkawinan dapat putus karena:
Kematian
Perceraian
Atas putusan pengadilan( Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam)
Putusnya perkawinan yang di sebabkan karenaperceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
perceraian hanya dapat di lakukan didepan sidang pengadilan
Agama,setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belahpihak.
Sehingga KHI mengisyartakan bahwa ikrar suami untuk
bercerai (talak )harus di hadapkan di depan sidang pengadilan .tampaknya UU no
7 tahun 1989 tentang peradilan agama juga menjelaskan hal yang sam seperti
terdapat pada pasal 66 ayat (1)yang berbunyi
“seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan
istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna
penyaksian ikrar talak.
Q.
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Menurut KHI pasal 149, apabila perkawinan putus karena
cerai talak, maka suami wajib melunasi mahar (yang terhutang) seluruhnya
apabila istrinya sudah dicampuri, dan setengah bagi istri yang belum dicampuri.
Kemudian bekas suami wajib memberikan mut’ah berupa uang
atau benda kepada bekas istri kecuali belum dicampuri. Selain itu ada juga
kewajiban memberi nafkah berupamaskan dan kiswah selama bekas
istri dalam masa iddah kecuali jatuh
talak ba’in atau nusyuz sedang bekas istri dalam keadaan hamil. Serta adanya
kewajiban memberikan biaya hadhanah bagi anak di bawah umur 21 tahun.
Hak Penguasaan Pemeliharaan Anak (Hadhanah)Ø Menurut KHI
pasal 156, anak yang belum mumayyiz berhak
mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya meninggal dunia maka
kedudukannya digantikan oleh :
a) Wanita-wanita
dalam garis lurus ibu
b) Ayah
c) Wanita-wanita
dalam garis lurus ayah
d) Saudara
perempuan dari anak yang bersangkutan
e) Wanita-wanita
kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
f) Wanita-wanita
kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah
Sedangkan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih hadhanah dari ibu atau
ayahnya. Dan pengadilan berhak memindahkan hak hadhanah kepada kerabat
lain yang berhak hadhanah pula apabila
keselamatan jasmani dan rohani anak tidak terjamin meskipun nafkah hadhanah sudah
terpenuhi.
Ø Hak
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun jika terjadi
perceraian adalah menjadi hak ibunya, sebagaimana tercantum dalam Kompilasi
hukum Islam Pasal 105 huruf a.
Ø Biaya
pemeliharaan dan penyusuan anak menjadi tanggung jawab ayahnya menurut kemampuannya,
sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri
(21 tahun). Apabila ayahnya meninggal dunia, maka penyusuan dibebankan kepada
orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. Seperti
yang tercantum dalam Kompilasi hukum Islam Pasal 104 ayat(1-2), Pasal 105 huruf
c, dan Pasal 156 huruf d.
Ø Eksekusi
putusan hadhanah menurut KUH
Perdata Pasal 319 f ayat (5) adalah tentang kepada siapa seharusnya anak itu
dipercayakan, terlepas dari ada atau tidaknya orang tua atau perwalian yang
telah mengurus anak tersebut.Apabila pihak yang menguasai anak
itu menolak menyerahkannya, maka juru sita boleh menjadi perantara untuk
melaksanakan keputusan itu.
R.
RUJUK
Pelaksanaan Rujuk Menurut KHI
Proses pelaksanaan rujuk yang
diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat dalam BUKU 1 tentang Hukum
Perkawinan pada bab XVIII. Di dalam bab tersebut di uraikan prosesnya dalam
bentuk pasal-pasal yaitu sebanyak tujuh pasal yang dimulai dari pasal 36 sampai
dengan pasal 169 yang terbagi kepada dua bagian, sebagai berikut:
BAGIAN KESATU (UMUM)
Pasal 163:
(1) Seorang suami dapat
merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan
dalam hal-hal :
a. Putusnya perkawinan karena
talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang
dijatuhkan qobla dukhul.
b. Putusnya perkawinan
berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina
dan khulu’.
Pasal 164 :
Seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak
mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan Pegewai
Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.
Pasal 165 :
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri,
dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166 :
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku
Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak
dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang
mengeluarkannya semula.
BAGIAN KEDUA (TATA CARA RUJUK)
Pasal 167:
(1) Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai
Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat
tinggal suami istri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat
keterangan lain yang diperlukan.
(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah
atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan
menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk
menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam masa iddah
talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan
beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah menasehati susmi istri tentang hukum-hukum dan kewajiban
mereka yang berhubungan dengan rujuk.
Pasal 168 :
(1) Dalam hal rujuk dilakukan dihadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar
rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah
yang melayaninya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat
dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.
(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu
Pegawai Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah
rujuk dilakukan.
(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara
tentang sebab-sebab hilangnya.
Pasal 169 :
(1) Pegawai Pencatat Nikah Membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk
dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang
bersangkutan, dan kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan Buku
Pendaftaran rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
(2) Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk
tersebut dating ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talakdahulu untuk
mengurus dan mengambil Kutipan Akta Nikah masing-masing yang bersangkutan
setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia
pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.
(3) Catatan yang dimaksud ayat (2) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal
rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda
tangan panitera.
S. MASA BERKABUNG
Pasal 170
(10 istri yang di tingglakan mati oleh suaminya ,wajib
melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita
dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) suami yang di tinggal mati oleh istrinya melakukan
masa berkabung menurut kepatutan.
Ammiur nurudindan azhari akmal tarigan,hukum perdata islam di
indonesia(jakarta,kencana,2004)cet 1,h 221.
.